Senin, 19 Januari 2009

Tahun Kewirausahaan Sosial

Dicari, Pengusaha Tak Buru Laba

Oleh
Kristanto Hartadi

JAKARTA - Tidak banyak yang tahu apa itu kewirausahaan sosial. Namun, kita langsung mengenal kalau ditanya tentang Muhamad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian 2006 berkat Grameen Bank yang membantu jutaan kaum miskin di Bangladesh, atau Saur Marlinang "Butet" Manurung yang memprakarsai sekolah bagi anak-anak suku terasing, atau Tri Mumpuni yang berhasil membangun 50 pembangkit listrik mikrohidro di desa-desa Indonesia.
Ya, mereka cuma contoh orang yang masih atau pernah menjadi bagian dari program kewirausahaan sosial yang dikembangkan oleh Ashoka, yakni sebuah organisasi global yang memelopori dan mengembangkan konsep wirausaha sosial.
Rabu (7/3) lalu, Ashoka Indonesia mencanangkan apa yang mereka sebut sebagai "Tahun Kewirausahaan Sosial" dalam sebuah acara di PPM Institute of Management di Jakarta. Dalam percakapan SH bersama Perwakilan Ashoka Indonesia Mira Kusumarini dan Perwakilan Ashoka Asia, Chris Cusano, di Jakarta, dijelaskan bahwa kewirausahaan sosial memang harus dikembangkan, dan Ashoka selama ini bertugas memilih lalu mensponsori orang-orang yang punya visi dan misi jelas untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat.
Berdiri sejak 1980, Ashoka telah memilih lebih dari 1.800 pemimpin wirausaha sosial dari 60 negara. Mereka yang terpilih itu mendapat biaya hidup, dukungan profesional, dan akses ke jaringan global di lebih dari 60 negara. Para "Ashoka Fellows", sebutan untuk para penerima dana, harus mampu memberi inspirasi kepada orang lain untuk mengadopsi dan menyebarkan inovasi, dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka juga agen perubahan.
Menurut Mira Kusumarini, di Indonesia terdapat 125 fellow sejak 1983, namun sebagian sudah meninggal dunia karena usia lanjut. "Ashoka selama ini tak banyak dikenal, karena kami tidak pernah berkampanye, dan lebih mengandalkan pada jaringan, apalagi ketika itu kami tidak ingin dianggap menentang pemerintah (Orde Baru)," jelas Mira. Namun, kini Ashoka Indonesia membuka diri.

Disponsori Tiga Tahun
Menurut Chris Cusano dalam menjaring fellows tidak pernah dikatakan mereka harus berbuat apa. "Kami hanya mencari orang-orang yang potensial untuk membuat perubahan di masyarakat. Kami pelajari proposal mereka, lalu kami seleksi secara ketat dan lama. Kandidat yang terpilih sebagai fellow akan kami beri biaya hidup selama tiga tahun," kata Chris.
Selebihnya, kandidat harus mencari sendiri biaya untuk proyeknya tersebut. "Jadi kami pada prinsipnya mendukung mereka supaya bisa mewujudkan proyek. Dan kami hanya mendukung orang-orang yang benar-benar baik," kata Chris.
Para penerima Ashoka Fellowship di Indonesia antara lain Tosca Santoso (2006) penggagas Kantor Berita Radio 68H; Onno Purbo (2005) yang mengembangkan proyek Indonesia berbasis knowledge melalui penggunaan internet secara murah; Saur Marlinang "Butet" Manurung (2003) yang antara lain mengajar baca tulis di lingkungan Orang Rimba di Jambi; Tri Mumpuni (2006) yang mengembangkan puluhan proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di kawasan pedesaan, Sanggar Akar yang mengurusi anak jalanan.
Misalnya saja Tri Mumpuni. Alumni Institut Pertanian Bogor ini selama 10 tahun bersama suaminya Ir Iskandar Kuntoadji dan LSM Institut Bisnis dan Ekonomi Rakyat (Ibeka) menggagas dan mengembangkan model Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (memanfaatkan tenaga air) berbasis komunitas di pedesaan. Dengan memanfaatkan dana hibah, dia mengembangkan sistem kemitraan yang melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengembangan, pembangunan PLTM.
Salah satu contohnya adalah PLTM Cinta Mekar di Desa Cinta Mekar, Segalaherang, Subang, Jawa Barat, berkapasitas 120 kilowatt (kW) yang telah diresmikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, April 2004. Setahun kemudian, proyek ini menjadi percontohan bagi pengembangan energi pedesaan di Asia Pasifik oleh UNESCAP.
Proyek PLTM yang berjumlah puluhan ini berdampak sangat nyata, penduduk di desa bisa lebih sejahtera, anak-anak bisa belajar, bahkan masyarakat (melalui koperasi) bisa menjual listrik ke PLN. Tri Mumpuni pun dianugerahi "Climate Hero" oleh WWF.
Selama ini, proyek-proyek yang melibatkan Ashoka berjalan dengan baik, bahkan berkelanjutan. "Kami pernah mensurvei bahwa setelah lima tahun kami menyetop pemberian biaya hidup, ternyata 95 persen dari proyek yang dikembangkan para fellow masih berlanjut, sekitar 60 persen proyek-proyek itu masih berdampak pada kebijakan nasional, dan 75 persen dari para fellow kami bisa menunjuk organisasi-organisasi lain untuk meniru," jelas Chris.
Dia membandingkan dengan sebuah lembaga bantuan besar yang 65 persen dari proyek mereka gagal setelah uang bantuan dihentikan.
Jadi, jalan yang dipilih Ashoka memang berbeda dengan lembaga bantuan, namun saling melengkapi. Melalui Tahun Kewirausahaan Sosial ada sejumlah kegiatan telah disiapkan seperti pemberian Anugerah Ashoka, Lomba Menulis Kewirausahaaan Sosial, Program Wirausaha untuk Remaja, kampanye melalui media massa, dan mendukung organisasi-organisasi yang menggaungkan visi ini.
Di Indonesia, fellows yang dibiayai kegiatannya beragam mulai dari pengembangan ekonomi, hak-hak perempuan, hak asasi, pengembangan nelayan, petani, sampai resolusi konflik Islam-Kristen, semisal di Ambon. Jadi, Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lagi wirausahawan sosial untuk mengatasi berbagai persoalan yang seperti tak ada habisnya. Usahawan sosial memang tak biasa, mereka tak memburu untung, tetapi berpikir tentang perubahan demi kesejahteraan.

sumber: www.sinarharapan.co.id
Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar: