Masa remaja sering kali ditandai dengan mulainya mereka meragukan konsep dan keyakinan akan agamanya di masa kanak-kanak, sehingga periode ini disebut periode keraguan religius (religious doubt). Apakah ini adalah hal yang wajar pada masa remaja? Mengapa dapat terjadi? Bagaimana menghadapinya?
Keraguan Religius
Masa remaja merupakan salah satu tahap dalam perkembangan manusia, seringkali disebut sebagai masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Dalam masa ini, seorang remaja diharapkan untuk mengubah sikap dan pola perilakunya yang kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku seorang dewasa. Hal ini tidak mudah, karena dilihat dari tubuhnya sudah menyerupai orang dewasa, tetapi ia belum matang secara emosional dan sosial. Pada masa remaja, seseorang seakan mengalami “kegoncangan jiwa” yang disebabkan perkembangan yang dilaluinya. Salah satu penyebab kegoncangan emosi remaja ialah pertentangan yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya. Remaja akan gelisah apabila ada perbedaan antara nilai-nilai agama/moral yang diajarkan dengan ilmu pengetahuan, misalnya. Dalam agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, Islam) diyakini bumi dan segala isinya diciptakan dalam 7 hari. Namun ilmu pengetahuan tentang evolusi, baik bumi maupun manusia, membuat remaja bertanya-tanya tentang mana yang sesungguhnya benar. Ini baru satu contoh. Dari sekian banyak pertentangan yang ditemui sejalan dengan perkembangan pengetahuannya, remaja menjadi mudah ragu, paling tidak mempertanyakan, agamanya.
Keraguan ini dapat dikatakan wajar terjadi pada diri seorang remaja. Suatu agama tidak dapat begitu saja melekat pada individu, apalagi tetap eksis hingga saat ini kalau tidak melalui proses pendidikan. Pendidikan agama individu juga tidak langsung diajarkan oleh para pemimpin agama atau para ahli ilmu teologi, melainkan dimulai dari struktur masyarakat terkecil yang melingkupi seseorang sejak ia dilahirkan yaitu keluarga. Penghayatan agama seharusnya mulai ditanamkan sejak bayi dan kanak-kanak awal, karena masa bayi dan kanak-kanak awal amatlah penting dan membawa pengaruh yang akan terus terbawa dalam struktur kepribadiannya. Meskipun demikian pendidikan agama hendaknya tidak berhenti sampai di situ, karena pembinaan penghayatan agama di masa remaja juga tidak kalah penting. Menurut seorang psikolog, Piaget, hal itu disebabkan perkembangan kognitif remaja yang beralih dari cara berpikir konkret ke cara berpikir proposisional dimana logika dalam lambang dan gagasan abstrak mulai berfungsi. Remaja menjadi lebih kritis terhadap hal apapun, termasuk mengenai apa yang diyakininya dalam agama. Individu di masa remaja sudah mampu menolak saran-saran yang tidak dapat dimengerti dan dapat memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat yang berlawanan dengan kesimpulan yang diambilnya. Maka tidak jarang ide-ide dan pokok-pokok ajaran agama ditolak dan dikritik oleh mereka. Di masa ini, remaja mulai meragukan konsep dan keyakinan akan agamanya di masa kanak-kanak, sehingga periode ini disebut periode keraguan religius (religious doubt).
Masalah lebih besar biasanya muncul berkaitan dengan perilaku orangtua, guru, pemimpin agama, bahkan pemimpin negara. Pertentangan antara nilai-nilai yang mereka terima dengan sikap dan perilaku dari orangtua, guru, pemimpin atau pengajar/penganjur agama, sangat meresahkan remaja. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan teladan yang baik bagi remaja, terutama dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama serta aplikasinya dalam hidup sehari-hari. Keyakinan dan keteguhan orangtua menjalankan ibadah serta usaha memelihara nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya membantu remaja dalam mengatasi kebimbangannya.
Bagi remaja sendiri yang mengalami keraguan akan agamanya, tidak perlu merasa bahwa hal ini adalah sesuatu yang menakutkan. Yang paling penting adalah, jangan membuat kesimpulan apapun dulu. Biarkan diri kamu melalui proses menjadi lebih matang, yaitu dengan tetap terbuka dengan segala pengalaman maupun pendapat dari pihak lain, dengan juga terus mempelajari lebih dalam lagi agama kamu.
Tinjauan Psikologis
Dari sudut psikologi, terlepas dari agama apa yang dianut oleh seseorang, di balik segala formalitas yang menyangkut kelembagaan yang diikuti dan tempat ibadat yang ia kunjungi, terdapat hubungan yang jauh lebih intim dengan Yang Ilahi. Hubungan personal ini melibatkan perasaan pasrah dan tergantung serta pengakuan akan adanya kekuatan yang melebihi dirinya sendiri. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Hal ini perlu dibedakan dengan agama, karena konotasi agama biasanya mengacu kepada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis; aturan dan hukuman, sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut. Konsep religiusitas itu oleh Glock & Stark dibagi ke dalam 5 dimensi keberagamaan:
- Dimensi keyakinan (ideological involvement), misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga, neraka;
- Dimensi peribadatan/praktek agama (ritual involvement) contohnya sholat 5 kali sehari, tiap hari Minggu ke gereja, dsb.;
- Dimensi pengalaman/penghayatan (experiencial involvement) seperti perasaan tenteram saat berdoa, tersentuh mendengar ayat Kitab Suci;
- Dimensi pengetahuan agama (intellectual involvement) misalkan dasar-dasar keyakinan ritus, mengenal ayat-ayat Kitab Suci; dan terakhir
- Dimensi pengamalan/konsekuensi (consequential involvement) yaitu sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.
Seorang psikolog yang mendalami psikologi agama, William James, mengatakan bahwa orang yang menempatkan agama sebagai sumber semangat memiliki sikap jiwa yang sehat, yang terlihat sebagai sikap yang penuh gairah, terlibat, bersemangat tinggi dan meluap dengan vitalitas. Sikap jiwa yang sehat ditampilkan sebagai sikap yang positif, optimis, spontan serta bahagia. Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan memiliki jiwa yang sakit (sick soul) yang dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa bersalah, murung serta tertekan. Bagi mereka agama dihayati sebagai suatu perjuangan yang berat dan penuh beban.
Selain membawa individu kepada jiwa yang sehat, James juga berpendapat bahwa bagi manusia, agama membuka suatu dimensi kehidupan yang paling fundamental dan peluang untuk mengembangkan pribadinya serta mengintegrasikannya secara kreatif dan selaras ke dalam dunia pribadinya. Dalam sejarah manusia modern, ada berbagai perdebatan tentang agama. Namun demikian, agama masih tetap dianggap relevan oleh banyak orang karena keberadaannya dianggap bermanfaat bagi manusia dalam usaha mencari makna hidup.
SUMBER: http://v3.bhawikarsu.ne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar