Oleh RR. Ardiningtiyas Pitaloka, S.Psi.**
Jakarta, 7 Oktober 2003
Suatu "tindakan anarkis" begitu jelas terkuak di sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan mencetak calon-calon pengayom dan pemimpin masyarakat, STPDN. Apapun alasan yang dikemukakan, rasanya sebagian besar masyarakat tidak mampu lagi menutupi amarah dan kekecewaan pada lembaga pendidikan bersangkutan maupun pemerintah secara luas sebagai penanggungjawab pendidikan di negeri ini. Namun, sekeras apapun berita, maupun liputan yang berhasil ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta, toh masih terdengar penolakan, bantahan atau berbagai macam pembelaan yang diajukan bagi tindakan tersebut. Bantahan tidak hanya datang dari sebagian praja yang masih di dalam lembaga melainkan juga dari para alumninya, yaitu mereka yang telah menduduki posisi tertentu di masyarakat. Dalam tayangan di salah satu televisi swasta, diantara banyaknya kecaman dan ejekan dalam bentuk sms, terselip "pembelaan" seperti: "Lulusan STPDN mampu bersaing dan berprestasi di masyarakat, dsb".
Identitas dan Harga Diri Kelompok
Suatu teori dalam psikologi sosial yang digagas oleh Tajfel dalam Hogg (1988) menyatakan bahwa pada setiap individu melekat berbagai identitas, tidak hanya identitas personal yang membedakan individu A dengan individu B. Individu A atau B juga memiliki identitas lain yakni identitas sosial, sebagai laki-laki, mahasiswa, lurah, atau identitas etnis bahkan kebangsaan seperti Indonesia. Identitas ini mengandung adanya perasaan memiliki suatu kelompok sosial bersama, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam identitas sosial, individu dipacu untuk meraih identitas positif kelompoknya. Dan dengan demikian, hal ini juga akan meningkatkan harga diri (self-esteem) individu sebagai anggota kelompok.
Berangkat dari teori ini, akan sedikit memudahkan pemahaman kita melihat sekelompok orang yang terlihat "melawan arus" dalam kasus STPDN. Dalam kasus tersebut, menjadi suatu hal yang wajar dalam kacamata identitas sosial, jika para alumni maupun anggota STPDN lain masih penuh semangat memberikan pembelaan, bahkan menganggap bahwa stasiun televisi telah menggiring opini publik, juga meragukan hasil poling dari SCTV dan detik.com bahwa 90% masyarakat setuju jika STPDN dibubarkan. Ekspresi kekesalan alumni itu bisa dimengerti sebagai gejolak diri akan ancaman terhadap posisinya sebagai anggota suatu kelompok yang sedang terancam.
Namun seiring dengan berjalannya waktu maka terlihat juga bahwa tidak semua personil STPDN memberikan pembelaan, sedikit demi sedikit mulai terkuak korban-korban yang awalnya hanya bungkam, kini mereka merasa mendapat keberanian untuk membuka mulut. Mengapa mereka bisa melakukan hal demikian? Para korban ini meskipun bagian dari suatu kelompok yang sama, namun perasaan memilikinya telah luntur atau dalam istilah Tajfel mengalami social mobility. Pada sisi lain, mereka memiliki perasaan satu kelompok dengan para korban lain.
Perasaan Bersalah dan Malu
Penjelasan di atas memang masih menyisakan pertanyaan sebagian masyarakat seperti dimanakah perasaan bersalah dan malu. Apakah anggota lembaga ini, khususnya yang terkait langsung dengan kasus tersebut, merasa bersalah atau malu, atau keduanya?
Menurut Ausubel dalam Warren (1995), rasa bersalah merupakan mekanisme paling penting bagi seseorang dalam bermasyarakat. Melihat kasus diatas, dapatkah dikatakan jika rasa bersalah tidak lagi menjadi variabel penting? Ataukah seperti yang diungkapkan Buss dalam Warren (1995) bahwa perbedaan antara rasa bersalah dan malu terletak pada kesadaran diri publik dan individu (pribadi)? Menurut Buss, tidak ada yang dapat memastikan seseorang benar-benar merasa bersalah akan suatu hal kecuali dirinya sendiri, sekalipun publik mungkin menyatakan ia bersalah. Namun pada sisi lain, perasaan malu merupakan emosi sosial lanjutan dari kecemasan atau dipermalukan, karena itu lebih pada kesadaran publik. Bisa jadi, para terdakwa pelaku kekerasan di STPDN lebih merasa malu karena publik mengetahui perbuatan mereka dan hal ini akhirnya menimbulkan kecemasan akan sanksi yang akan diterima baik pemecatan atau lainnya. Kurang tepat bila mereka atau seniornya terdahulu memiliki rasa bersalah melakukan "tindakan anarkis" yang dalam bahasa mereka: "pembinaan". Jika perasaan bersalah itu ada, maka kecil kemungkinannya hal itu dilakukan terus-menurus, dari tahun ke tahun dan bahkan sudah menelan korban jiwa, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa ada faktor lain yang memicu atau mungkin memaksa timbulnya tindakan itu.
Sekali lagi, perasaan bersalah mungkin bisa diibaratkan seperti sebuah kalimat: “dalamnya hati, siapa tahu?!”. Sementara demi identitas kelompoknya, seseorang atau sekelompok orang rela melakukan apa saja yang dapat meningkatkan gengsi kelompok atau dalam bahasa Tajfel: identitas positif. Amatlah disayangkan bila fanatisme buta ini menutup hati nurani anak bangsa apalagi dunia pendidikan. Jika buruknya citra pemerintah sudah menjadi menu utama di negeri ini, sungguh sangat disayangkan bila dalam usaha pemerintah memperbaiki citra buruknya (identitas negatif), lembaga pendidikan justru tampil dengan arogansi otot dan kekuasaan.
Penutup
Sebagai kelompok besar, Indonesia, sebagai warga negara yang berdasarkan hukum ini hendaknya perasaan malu dan bersalah masih ada dan menggiring kita untuk lebih mawas diri. Koreksi dan pembenahan seharusnya menjadi langkah ke depan, bukan hanya pembelaan "buta" pada apa yang jelas-jelas terjadi.
Identitas sebagai bangsa Indonesia seharusnya dikedepankan untuk meraih citra positif oleh seluruh komponen bangsa. Memang pahit dan memalukan ketika kita terpaksa mengakui kekurangan diri, tetapi itu jauh lebih baik daripada menutupi penyakit akut, toh busuknya akan tercium juga. Patut disyukuri bahwa akhirnya Departemen Dalam Negeri memberikan respon positif dalam menangani kasus STPDN. Mudahan-mudahan dengan adanya pembenahan yang dilakukan tidak akan lagi ada korban yang jatuh dalam rangka "pembinaan", baik di STPDN maupun di lembaga-lembaga pendidikan lain di seluruh Indonesia. Semoga. (jp)
------------------------------------------
Sumber:
Jones,-Warren et al (1995). You always hurt the one you love: guilt and
transgressions against relationship partners. Dalam Tangney, June P. & Fischer,Kurt W. (Ed),”Self-Conscious Emotions: the psychology of shame, guilt, embarrasement and pride”. New York: The Guilford Press.
Hogg, Michael A. & Abrams, Chapman (1988). Social identifications: a social
psychology of intergroup relations and group processes. New York: Routledge.
-------------------------------------------
**Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Psikologi Kekhususan Sosial Sains Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
http://www.e-psikologi.com/sosial/071003.htm
_____________________________
Senin, 19 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar