Senin, 19 Januari 2009

HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS SEJAK DINI DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA DI SMA TUNAS HARAPAN BANDAR LAMPUNG TAHUN 2007

abstraks:

ABSTRAK
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Univesitas Atmajaya mengungkapkan 9,9% remaja telah melakukan hubungan seks dengan pasangannya setelah menonton film porno dan riset studi yang dilaksanakan Universitas Indonesia diperoleh temuan bahwa 21,8% remaja di Bandung telah melakukan hubungan seks sebelum menikah, di Sukabumi 26% dan Bogor 30,9%. Sedangkan dari Hasil pra survey pada 18 orang siswa diketahui bahwa 90% siswa menyatakan belum pernah mendapatkan pendidikan seks dari sejak dini, sedangkan 2 orang siswa menyatakan pernah mendapatkan pendidikan seks dari sejak dini.
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah ada hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja kelas XI SMA Tunas Harapan Bandar Lampung yang berjumlah 124 orang, sedangkan sampel dalam penelitian ini berjumlah 124 orang, metode pengumpulan data interview yang mengacu kepada kuisioner. Dari hasil uji statistik chi square diperoleh hasil p-value 0,005 dengan menggunakan nilai derajat 95 % taraf kebebasan α p-value < 0,05, maka ada hubungan antara pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007. Di harapkan kepada petugas kesehatan dapat mengadakan penyuluhan-penyuluhan pada remaja khususnya pendidikan seks sejak dini yang dapat mengakibatkan perilaku seks yang baik pada remaja.

Kata Kunci : Pendidikan, Perilaku, seks, Remaja
Pustaka : 21 (1989 – 2007)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Remaja sebagai generasi muda merupakan aset nasional yang sangat penting karena pada pundaknya terletak tanggung jawab kelangsungan hidup bangsa. Masa remaja seringkali merupakan masa yang kritis dimana mereka dihadapkan pada berbagai masalah. Dari sekitar 1 milyar manusia, hampir satu di antara 6 manusia di bumi ini adalah remaja, dan 85% di antaranya hidup dinegara berkembang, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang mempunyai penduduk usia remaja cukup besar yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia termasuk di dalamnya adalah propinsi Lampung (PKBI, 2006).

Memasuki gerbang remaja, umumnya remaja merasa dirinya sudah besar, dalam arti bukan kanak-kanak lagi. Oleh karena itulah terkadang remaja cenderung susah diatur, meskipun oleh orang tuanya sendiri. Kecenderungan ingin mencoba hal-hal baru yang ia lihat dan ia dapatkan, meskipun kadang ia belum tahu pasti tentang hal-hal baru tersebut. Hal ini lebih kepada rasa keingintahuan dari remaja teramat besar (Mahmudah, 1997).

Banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan mengenai seksualitas didepan umum dan juga karena adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks, sehingga melarang membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang vulgar. Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, dimana para remaja hanya mengetahui cara dalam melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul akibat perilaku seks tersebut. Hal ini justru menyesatkan atau mungkin pengetahuan yang setengah-setengah, justru mendorong gairah seks tidak dapat dikendalikan, yang pada gilirannya akan memperbesar kemungkinan dibuatnya tingkah laku seksual yang dapat menjurus pada senggama. Untuk itu perlu adanya pendidikan seks bagi remaja, baik disekolah, lingkungan maupun keluarga (Pratiwi, 2004).

Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan self esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penanaman rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan (Pratiwi, 2004).

Secara umum pendidikan seks sejak dini adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Sarlito, 1994).

Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja diharapkan remaja dapat menempatkan seks pada pandangan yang tepat dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks. Ada 5 prinsip dasar yang harus termuat dalam pendidikan seks, yaitu :
a. Perkembangan manusia, anatomi dan fisiologi reproduksi.
b. Hubungan antar manusia, keluarga, teman, dasar dan perkawinan.
c. Kemampuan personal, nilai, pengambilan keputusan komunikasi dan negosiasi.
d. Perilaku seksual, abstinence dan perilaku seks lain.
e. Kesehatan seksual meliputi, kontrasepsi pencegahan penyakit menular seksual (PMS), AIDS, aborsi dan kekerasan seksual (Pratiwi, 2004)

Pendidikan seks diperlukan untuk menghubungi antara rasa keingintahuan remaja tentang hal itu dan berbagai tawaran informasi yang vulgar, dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, lengkap, yang disesuaikan dengan kematangan usianya. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke arah kedewasaan. Jika digolongkan sebagai anak-anak sudah tidak sesuai lagi, tapi jika digolongkan dengan orang dewasa juga belum sesuai (Rumini dan Sundari, 2004).

Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batas umurnya berkisar antara 10-20 tahun. Ketika pertumbuhan jasmani hampir selesai. Dalam masa ini, remaja berkembang ke arah kematangan seksual, menetapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga dan menghadapi tugas menentukan cara mencari mata pencaharian. Dalam masa ini, perilaku seksual juga ikut mewarnai kehidupan para remaja. Adapun yang di maksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2002).

Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa di kalangan remaja telah merebak perilaku seksual menyimpang, seperti terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya serta studi yang dilaksanakan Universitas Indonesia.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Univesitas Atmajaya (1999) mengungkapkan 9,9% remaja telah melakukan hubungan seks dengan pasangannya setelah menonton film porno. Sedangkan riset studi yang dilaksanakan Universitas Indonesia pada tahun yang sama diperoleh temuan bahwa 21,8% remaja di Bandung telah melakukan hubungan seks sebelum menikah, di Sukabumi 26% dan Bogor 30,9% (Prihartono, 2002).

Seorang remaja di Kota Gudek terhadap teman-temannya yang menemukan 39 orang (8,53%) dari responden yang berjumlah 461 orang telah melakukan senggama, juga penelitian yang dilakukan Faturachman (1999) di Kabupaten Tabanan dan Bandung di Bali, dengan subyek 324 remaja yang 4,9% resnpondennya pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Kemudian, penelitian Pusat Peneliti Kependudukan UGM (1991) pada remaja berumur 14–24 tahun di Manado, mengungkap laki-laki 151 orang dan 14 orang perempuan terbukti 26,6% melakukan seks pra nikah. Kemudian hasil penelitian Majalah Tempo pada tahun 1991 tentang seks menyatakan bahwa 282 jawaban yang masuk 177 di antaranya adalah responden wanita. Semua responden berusia 12–20 tahun, hasil penelitian tersebut adalah :
a. Setuju senggama sebelum perkawinan asal suka sama suka 17,02%.
b. Setuju senggama dengan syarat lain 30,4%.
c. 12% dari responden pria dan 9% dari responden wanita tidak mengganggap perlu kegadisan di malam pertama.
d. 17% dari responden pria pernah ke Wanita Tuna Susila (WTS).
e. 2,84% dari responden (pria dan wanita) pernah bersenggama dengan pacarnya.

Perilaku seksual pada remaja disebabkan tidak adanya keterbukaan dalam keluarga tentang penting pendidikan seks (sex education) sejak dini. Sulitnya orang tua terbuka dalam memberikan pendidikan seks ini lebih banyak disebabkan adanya persepsi keluarga yang masih mengganggap tabu untuk membicarakan masalah seks terhadap remaja. Adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks, sehingga muncul larangan membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang vulgar (Eko, 1997)

Perilaku seksual pada remaja dapat dihubungkan dengan persepsi keluarga tentang pendidikan seks sejak usia dini, yaitu dari usia anak menjelang remaja awal (10 – 13 tahun). Persepsi keluarga merupakan pola pemikiran atau tanggapan anggota keluarga secara umum terhadap suatu kenyataan yang terjadi pada diri dan anggota keluarganya. Biasanya dalam satu keluarga mempunyai persepsi yang hampir sama atau seragam dalam menanggapi suatu hal yang dihadapinya, hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari tindakan atau aturan yang diterapkan oleh penanggung jawab (kepala) dalam keluarga tersebut (Hartono, 2001).

Seksualitas merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus sejak seorang bayi lahir sampai meninggal; sebuah proses yang memperlihatkan hubungan yang erat antara aspek fisik (sistem reproduksi) dengan aspek psikis dan sosial yang muncul dalam bentuk perilaku; serta merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Pengertian dari Myles tersebut menunjukkan bahwa dimensi seksualitas sangatlah luas meliputi bukan saja dimensi fisik namun juga psikis dan sosial. Namun, saat ini telah terjadi pereduksian makna, seksualitas disempitkan hanya pada aspek fisik-hubungan seks. Akibatnya seksualitas menjadi tabu dibicarakan terutama di dalam keluarga. Seksualitas cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang alamiah dan hanya sah dibicarakan dalam lembaga perkawinan. Pada akhirnya remaja mencari jalan untuk mencari informasi dari sumber-sumber lain, sumber-sumber ini dapat berupa bacaan, gambar dan film yang berbau pornografi (Myles, dkk, 1993).

Penelitian ini difokuskan pada Hubungan Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung. Berdasarkan hasil pra survei dan wawancara tentang pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja yang peneliti lakukan kepada 20 siswa kelas IX dari 124 siswa di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung secara keseluruhan, diperoleh data sebagai berikut :
a. 18 orang (90%) menyatakan bahwa masalah seks itu bukan hal yang tabu, 2 orang (10%) menyatakan bahwa masalah seks itu hal yang tabu.
b. 18 orang (90%) menyatakan tidak pernah mendapatkan pendidikan seks, 2 orang (10%) menjawab pernah mendapatkan pendidikan seks
c. 17 orang (85%) menyatakan pernah membicarakan seputar seks itu dengan teman sebaya dan orang tua, 3 orang (15%) menyatakan tidak pernah membicarakan seputar seks itu dengan teman sebaya dan orang tua.
d. 11 orang (55%) menyatakan pernah berpelukan dengan pacar atau teman sebaya, 9 orang (45%) menyatakan tidak pernah berpelukan dengan pacar atau teman sebaya.
e. 8 orang (40%) menyatakan pernah berciuman dengan pacar atau teman sebaya, 12 orang (60%) menyatakan tidak pernah berciuman dengan pacar atau teman sebaya.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas maka, selanjutnya penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul: Hubungan Pendidikan Seks Sejak Dini Dengan Perilaku Seksual Pada Remaja Di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan, maka masalah yang dapat di identifikasi adalah :
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Univesitas Atmajaya (1999) mengungkapkan 9,9% remaja telah melakukan hubungan seks dengan pasangannya setelah menonton film porno. Sedangkan riset studi yang dilaksanakan Universitas Indonesia diperoleh temuan bahwa 21,8% remaja di Bandung telah melakukan hubungan seks sebelum menikah, di Sukabumi 26% dan Bogor 30,9% (Prihartono, 2002).
2. Hasil pra survey pada 18 orang siswa diketahui bahwa 90% siswa menyatakan belum pernah mendapatkan pendidikan seks dari sejak dini, sedangkan 2 orang siswa menyatakan pernah mendapatkan pendidikan seks dari sejak dini.

1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.1.1 Umum
Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.

1.3.1.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pendidikan seks sejak dini pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.
2. Untuk mengetahui perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007
3. Untuk membuktikan hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.

1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Institusi Keperawatan
a. Memberikan masukan dan informasi tentang pentingnya pengetahuan pendidikan seks bagi remaja.
b. Menambah studi kepustakaan tentang pendidikan seks sehingga dapat dijadikan masukan dalam penelitian selanjutnya

1.3.2.2 Objek Penelitian
a. Memberikan informasi tentang pendidikan seks sehingga tidak menimbulkan penyimpangan perilaku seksual pada remaja
b. Sebagai bahan pengkajian dan pengembangan kurikulum terutama penilaian tentang pendidikan seks khususnya bagi remaja

1.3.2.3 Peneliti dan Peneliti Selanjutnya
Untuk meningkatkan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam menganalisa hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja. serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pendidikan seks

Seksualitas merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus sejak seorang bayi lahir sampai meninggal; sebuah proses yang memperlihatkan hubungan yang erat antara aspek fisik (sistem reproduksi) dengan aspek psikis dan sosial yang muncul dalam bentuk perilaku; serta merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Pengertian dari Myles tersebut menunjukkan bahwa dimensi seksualitas sangatlah luas meliputi bukan saja dimensi fisik namun juga psikis dan sosial. Namun, saat ini telah terjadi pereduksian makna, seksualitas disempitkan hanya pada aspek fisik-hubungan seks. Akibatnya seksualitas menjadi tabu dibicarakan terutama di dalam keluarga. Seksualitas cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang alamiah dan hanya sah dibicarakan dalam lembaga perkawinan (Myles, dkk, 1993)
Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan selfesteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan (Pratiwi, 2004).

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Pendidikan seks adalah suatu pengetahuan mengenai seksualitas remaja yang diberikan secara lengkap dan terbuka sehingga remaja dapat berperilaku seksual yang baik (Sarwono, 1989 dalam Fitria, 2004).

2.1.2 Pendidikan Seks Sejak Dini
Secara umum pendidikan seks sejak dini adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Sarlito, 1994).

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar
(www. Pendidikan sexual pada remaja.com)
2.1.3 Perlunya Pendidikan Seks

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata dari penelitian WHO (1997) di 16 negara Eropa yang hasilnya adalah sebagai berikut :
a. 5 negara mewajibkan di setiap sekolah.
b. 6 negara menerima dan mengesahkannya dengan Undang-Undang tetapi tidak mengharuskan di setiap sekolah.
c. 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak mengukuhkannya dengan Undang-Undang.
d. 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Zelnik dan Kim, 1998)

Penulis berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek–didik. Pendidikan seks yang kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria – wanita dalam pergaulan dan peran ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga.

Materi pendidikan seks sangat bervariasi, sebuah survei oleh Margareth Terry Orr di Amerika dibicarakan di kalangan remaja adalah sebagai berikut:
1. Perkosaan
2. Masturbasi
3. Homoseksual.
4. Disfungsi seksual.
5. Eksploitasi seksual

Topik-topik lain :
1. Kehamilan pada remaja.
2. Kepribadian dan seksualitas
3. Kesuburan.
4. KB.
5. Menghindari hubungan seks.

Selanjutnya mereka menyatakan bahwa jika komunikasi antar ibu–anak dilakukan sebelum anak melakukan hubungan seks, maka hubungan seks dapat dicegah. Makin awal komunikasi itu dilakukan, maka fungsi pencegahannya makin nyata, tetapi jika komunikasi dilakukan setelah hubungan seks terjadi, maka komunikasi itu justru mendorong lebih sering dilakukannya hubungan seks. Meskipun demikian pengaruh positif dari komunikasi itu tetap ada, yaitu dengan hubungan seks yang terjadi tidak sampai menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan (Fox dan Inazu, 1989 dalam Fitria, 2004).

Untuk menyiapkan anak-anak memasuki kehidupan yang dewasa disini ditawarkan pendidikan seks yang dapat juga dijadikan komponen kurikulum pendidikan yang bersifat pribadi (personal), sosial dan kesehatan. Sedangkan keterampilan dan kecakapan yang diperlukan untuk itu adalah pendidikan seks yang tersampaikan (transferable) yang di dalamnya minimal harus terdiri dari 3 komponen berikut :
1. Pengetahuan : belajar dari informasi untuk kehidupan anak dan perkembangannya.
2. Nilai dan sikap : eksplorasi terhadap nilai dan sikap yang memungkinkan anak dapat membuat pilihan berdasarkan informasi yang diterimanya tanpa berprasangka.
3. Keterampilan : mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan berkomunikasi dan menjalin hubungan interpersonal.

2.1.4 Pedoman untuk Pendidikan Seks

Sekarang telah ada kesepakatan yang luas antar ahli bahwa pendidikan seks baik di rumah maupun di sekolah sebaiknya menyediakan informasi, pengertian dan penentraman hati. Pendidikan seks harus dimulai secara tepat seiring dengan tingkat perkembangan anak yang terlibat, menjawab pertanyaan mereka sesuai dengan minat dan tingkat pemahaman mereka. Pendidikan seks formal harus “group oriented” dengan kelompok seks yang sama.
Morrison (1998) memberikan contoh pedoman disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak :
1. Anak usia 2 – 5 tahun
a. Persamaan secara anatomi jenis kelamin dan perbedaan “mengapa anak laki-laki punya penis, sedangkan anak perempuan tidak”?
b. Nama bagian-bagian tubuh termasuk alat kelamin: secara ilmiah, nama spesial yang dipakai di masyarakat, keluarga dan istilah yang digunakan di lingkungan teman sebaya.
c. Diskusi dengan anak tentang dorongan kepuasan dari sentuhan pada alat kelamin.
2. Anak usia 5 – 6 tahun
a. Informasi yang diambil dari sumber yang kurang (seperti dari TV, berita, dan lain-lain).
b. Kosa kata tentang definisi yang akurat untuk istilah yang didengar dan interprestasi orang tua.
3. Anak usia 7 – 12 tahun
a. Perkembangan pribadi, perubahan tubuh dan emosi yang baru.
b. Informasi tentang perkembangan lawan jenisnya.
c. Waktu harus berelasi dengan perkembangan individual, sehat payudara gadis mulai tumbuh meski usianya baru 7–8 tahun, tetapi dia sebaiknya tetap mendapat informasi tentang menstruasi.
4. Anak usia 12 tahun ke atas
a. Getaran / arrousal : sejenis dan lawan jenis.
b. Seks sebelum nikah saat siap untuk “date” (kencan).
c. Kontrasepsi.
d. Penyakit kelamin.
e. Seks dan hubungan (relationship)
f. Homoseksualitas.
2.2 Remaja
2.2.1 Pengertian
Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa anak-anak menuju kearah kedewasaan. Jika digolongkan sebagai anak-anak sudah tak sesuai lagi, tapi jika digolongkan dengan orang dewasa juga belum sesuai (Rumini dan Sundari, 2004). Istilah remaja/adolescene berasal dari kata lain adolescene (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1996). Remaja adalah mulai dewasa atau sudah sampai umur untuk kawin ia sekarang sudah bukan kanak-kanak lagi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).

Masa remaja dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Awal (usia 10 sampai 13 tahun).
2. Pertengahan (usia 14 – 16 tahun)
3. Akhir (usia 17 – 20 tahun dan sesudahnya) (Nelson dkk, 2000)

2.2.2 Ciri-Ciri Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja tersebut antara lain:
1. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, terjadi perubahan emosi tubuh, minat dan peran, perubahan nilai-nilai dan tanggung jawab.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah dan karena remaja merasa sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk mencari siapa diri, apa perannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, anggapan sterotipe budaya yang bersifat negatif terhadap remaja, mengakibatkan orang dewasa tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, remaja melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, remaja berperilaku yang dihubungkan dengan status dewasa seperti merokok, minum-minuman keras, obat-obatan dan terlibat seks, agar mereka memperoleh citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1996)
2.2.3 Tahap Perkembangan Remaja
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasa, ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
1. Remaja Awal (early adolescence)
Pada tahap ini remaja masih terheran-heran pada perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan itu, tertarik pada lawan jenis, mudah terangsang secara erotis dan berkurangnya kendali terhadap ego.
2. Remaja Madya (middle adolescence)
Pada tahap ini remaja membutuhkan kawan–kawan, ada kecenderungan “narcistic” atau mencintai diri sendiri.
3. Remaja Akhir (late adolescence)
Pada tahap ini remaja mengalami konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi–fungsi intelek
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman–pengalaman baru
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi
d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain
e. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 1989).

2.3 Perilaku
2.3.1 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati lengsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. “Skiner” seorang ahli Perilaku mengemukakan bahwa Perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons dan Skiner menyebutkan Perilaku akan terbentuk melalui prosedur sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat reinforcer berupa hadiah-hadiah untuk rewards bagi Perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk Perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut di susun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya Perilaku yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Menurut teori Lawrence Green (1980), mengemukakan bahwa perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, yang dipengaruhi oleh 3 faktor pendukung yaitu faktor prediposisi (predisposing factors), faktor pendukung (Enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).
a. Faktor prediposisi (predisposing factors)
Faktor ini merupakan faktor yang mempermudah dalam upaya penggunaan kesehatan dan menjadi dasar atau motivasi yang mencakup: pengetahuan, sikap, tradisi, nilai dan lain-lain
b. Faktor pendukung (Enabling factors)
Merupakan faktor yang mendukung berperilaku kesehatan yang dianjurkan. Faktor ini mencakup: sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, jarak lokasi, biaya, sumber daya dan sebagainya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factors).
Sebagai faktor pendorong untuk berperilaku yang diharapkan, faktor ini mencakup: sikap dan perilaku kesehatan, tokoh masyarakat Undang-undang dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Melakukan pembentukan Perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau Perilaku (tindakan), kemudian dilakukan komponen (Perilaku) yang kedua diberi hadiah (komponen pertama tidak diberi hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk dan komponen selanjutnya.

2.3.2 Komponen Perilaku
Perilaku adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku hidup sehat didefinisikan sebagai Perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan batasan ini, Perilaku sehat dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan atau health maintanance
Adalah Perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.
3. Perilaku hidup sehat lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatan lain. Dengan kata lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat.

2.3.3 Perilaku Seksual
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. ”Skiner” seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons dan Skiner menyebutkan perilaku akan terbentuk melalui prosedur sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat reinfocer berupa hadiah-hadiah untuk rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dihendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut di susun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut (Notoatmodjo, 2003)

Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan), kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua diberi hadiah (komponen pertama tidak diberi hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk dan komponen selanjutnya.

Sedangkan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Dalam hal ini, perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Dalam hal ini tingkah laku seksual diurutkan sebagai berikut:
1. Berkencan
2. Berpegangan tangan
3. Mencium pipi
4. Berpelukan
5. Mencium bibir
6. Memegang buah dada di atas baju
7. Memegang buah dada di balik baju
8. Memegang alat kelamin di atas baju
9. Memegang alat kelamin di bawah baju
10. Melakukan senggama
(Sarwono, 2006).

2.3.4 Beberapa Hal yang menyebabkan timbulnya perilaku seksual
Menurut Sarwono (2006), secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh:
1. Meningkatnya libido seksual
Di dalam upaya mengisi peran sosial, seorang remaja mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik.
2. Penundaan usia perkawinan
Dengan meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan makin banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda kebutuhan untuk mengawinkan anak-anaknya untuk bersekolah dulu sebelum mengawinkan mereka tertunda.
3. Tabu larangan
Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana orang tidak boleh melaksanakan hubungan seksual sebelum menikah. Pada masyarakat modern bahkan larangan tersebut berkembang lebih lanjut pada tingkat yang lain seperti berciuman dan masturbasi, untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan mempunyai kecenderungan melanggar larangan tersebut.
4. Kurangnya informasi tentang seks
Remaja yang sudah mulai berkembang kematangan seksualnya secara lengkap jika hal ini kurang mendapat pengarahan dari orang tua maka pengendalian perilaku seksual akan sulit. Mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan seksual pornografi melalui media massa yang membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas.
5. Pergaulan semakin bebas
Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar, banyak kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja. Menurut Forehand (1997), semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang menimpa remaja. Oleh karena itu di samping komunikasi yang baik dengan anak, orang tua juga perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orang tua.

2.3.5 Pola-Pola Perilaku Seksual Remaja
Pola-pola perilaku seksual pada remaja dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Masturbasi. Ada perbedaan persentase antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindakan masturbasi. Hampir 82% dari laki-laki usia 15 tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan usia 15 tahun yang melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan "bersalah" dan perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif, yaitu: melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, merupakan eksperimen seksual yang sifatnya aman; untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam membuktikan kemampuan seksualnya; mengendalikan dorongan seksual yang tidak terkontrol; mengatasi rasa kesepian; dan memulihkan stress dan tekanan hidup.
2. Petting. Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
3. Oral-genital seks. Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model oral-genital ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.
4. Sexual Intercourse. Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah. Dari hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling terbuka untuk menceritakan pengalaman intercoursenya dibandingkan dengan remaja perempuan. Sehingga dari data tampaknya frekuensi untuk melakukan hubungan seksual intercourse lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan.
5. Pengalaman Homoseksual. Adakalanya perilaku homoseksual bukan terjadi pada remaja yang orientasi seksualnya memang homo, namun beberapa kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai sarana latihan remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang sebenarnya di masa yang akan datang. Pada remaja yang memiliki orientasi seksual homo, biasanya sejak dini melakukan proses pencarian informasi mengenai kondisi yang menimpa dirinya. Informasi bisa diperoleh dari bacaan, sesama teman homo, atau justru sangat ketakutan dengan kondisi dirinya sehingga mencoba-coba melakukan hubungan seksual secara hetero. Tidak mudah bagi remaja jika ia mengetahui bahwa orientasi seksualnya bersifat hetero, sebab pada dirinya kemudian akan timbul konflik yang menyangkut nilai-nilai kultural mengenai hubungan antar jenis.
6. Efek Aktifitas seksual. Ada bahaya personal dan sosial yang mengancam remaja bila melakukan aktivitas seksual secara salah. Bahaya tersebut adalah: terjangkitnya penyakit HIV/AIDS, kehamilan tidak dikehendaki, menjadi ayah atau ibu di usia sini.
(Eliyawati, 2004).

2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti (diamati) yang berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo, 2002).
Gambar 1
Kerangka Teori

(Lawrence Green, 2005).

2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Gambar 2
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)

2.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.
Ha : Ada hubungan yang signifikan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei, yang dititik beratkan pada penelitian korelasional, yakni mempelajari hubungan variabel-variabel. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1989).

Desain penelitian merupakan cara agar penelitian dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan menggunakan metode pendekatan cross sectional, yaitu mengumpulkan data 1 kali dan bermaksud memperoleh suatu cross sectional pada populasi pada waktu yang disediakan dengan pengumpulan data saat ini (Notoatmodjo, 2002), yang bertujuan menemukan hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007.

3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara Operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Abdullah, 2003). Penyusunan definisi operasional variabel perlu dilakukan karena akan menunjukkan alat pengambilan data mana yang cocok digunakan (Notoatmodjo, 2002).
Tabel 3.1. Definisi operasional variabel Penelitian

Variabel Definisi Operasional Skala Alat Ukur Hasil Ukur
Independen
Pendidikan seks sejak dini
Pengajaran atau pendidikan yang diberikan kepada anak umur < 12 tahun yang diberikan secara lengkap dan terbuka tentang
norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

Ordinal

Kuisioner
1. Diberikan ? 32

2. Tidak diberikan < 32
Dependen
Perilaku seksual remaja Segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis, tentang tindakan seksualitas yang berupa kencan, berpegangan tangan, berciuman, bermesraan.
Ordinal

Kuisioner
1. Menyimpang ? 50

2. Tidak Menyimpang <>

3.3 Metode Pengumpulan Data
Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan dan kuesioner. Penelitian kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tertulis dengan mengutip literatur yang ada sebagai dasar penelitian baik dari buku-buku perpustakaan, artikel, dan dari website di Internet. Sedangkan kuesioner yaitu cara pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden.

3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi

Menurut Sigit (1999) bahwa populasi adalah kelompok yang diamati dalam penelitian. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2002) mengemukakan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti. Dari kedua pendapat di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti atau diselidiki. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja kelas XI SMA Tunas Harapan Bandar Lampung yang berjumlah 124 orang.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu keseluruhan populasi dengan jumlah sampel sebanyak 124 orang.

3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Metode Pengolahan Data
Data yang telah diisi responden dikumpulkan kemudian dikoreksi apakah jawaban telah diisi semua. Bila telah terisi semua selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing Data
Yaitu kegiatan dengan pengecekkan isian formulir atau kuisioner yang telah diisi oleh responden berkaitan dengan kemungkinan adanya kesalahan dan melihat kelengkapaan, kejelasaan dan konsistensi jawaban.

2. Coding Data
Yaitu melakukan konversi data kedalam angka-angka sehingga memudahkan dalam pengolahan data selanjutnya. Pemberian kode untuk setiap kelompok pertanyaan dalam format kuisioner yang dilakukan peneliti yaitu dengan skor untuk setiap jawaban kuisioner.

3. Entry Data
Data tersebut kemudian diolah menggunakan komputer. Data yang diambil bersifat kuantitatif dengan memberikan nilai pada setiap jawaban di masing-masing pertanyaan. Skor tersebut diolah dengan membuat pengelompokkan berdasarkan variabel yang hendak diukur.

4. Cleaning Data
Pemulangan atau pembersihan data atau pengecekan data ke dalam komputer untuk meminimalkan kesalahan.

3.5.2 Analisa Data
3.5.2.1 Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan persentase, hasil dari setiap variabel ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi, dengan menggunakan rumus:

(Hastono, 2006)
Di mana:
P : Persentase
N : Jumlah responden
d : Skor jawaban responden

3.5.2.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independent yaitu pendidikan seks sejak dini pada remaja dengan perilaku seksual pada remaja variabel dependen.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan uji Chi-square (X2). pengujian ini dengan cara membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan apakah ada perbedaan bermakna.

Rumus yang digunakan adalah:

(Nursalam, 2001)
Keterangan:
X = Statistik Chi Square
? = Penjumlahan
O = Frekwensi pengamatan untuk variabel dependen dan variabel
independen
E = Frekuensi yang diharapkan untuk variabel dependen dan variabel independen

Sedangkan Confidental Interval (CI) yang digunakan adalah 95%. apabila p value <> 0,05 berarti tidak ada hubungan yang signifikan, Ha ditolak

3.6 Data, Alat dan Bahan
3.6.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yaitu:
1. Data Primer
a. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan pengambilan data yang diperoleh dari objek penelitian dari lembaga-lembaga yang terkait dan yang ada hubungannya dengan penelitian ini sehingga diharapkan dapat menunjang keakuratan informasi dalam pembahasan.
b. Kuesioner
Teknik ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dalam bentuk daftar pertanyaan berupa lembar check-list yang disediakan sebelumnya dengan maksud untuk mengumpulkan data dan informasi langsung dari responden yang bersangkutan.
2. Data Sekunder
Teknik ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data-data mengenai konsep-konsep yang mendukung penelitian guna mencari indikator-indikator yang hendak dipakai dalam penelitian

3.6.2 Alat dan Bahan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sarana penelitian sebagai berikut:
1. Alat Penelitian
a. Lembar persetujuan untuk menyetujui sebagai respoden.
b. Lembar kuisioner untuk mendapatkan data dari remaja tentang pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja.
2. Bahan Penelitian
a. Alat tulis, komputer
b. Buku-buku referensi sebagai bahan perpustakaan.

3.7 Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan membagikan kuesioner pada seluruh siswa kelas XI SMA Tunas Harapan Bandar Lampung dan dalam penelitian ini menyatakan bersedia menjadi responden. Kuesioner yang ada sudah di uji validitas dan rehabilitas, dibagikan kepada responden pada waktu yang sama dengan memberikan penjelasan cara pengisian kuesioner, kuesioner yang telah diisi responden dikumpulkan di tempat yang sama dan diperiksa kelengkapannya.

3.7.1 Uji Reliabilitas dan Validitas
Uji validitas dan rehabilitas di gunakan untuk mengetahui instrumen yang ingin di ukur dan untuk mengetahui alat ukur yang akan digunakan dapat dipercaya atau tidak, jika item yang tidak valid maka akan di gugurkan. Dalam uji ini digunakan try out terpakai, yaitu suatu metode yang digunakan valid tidaknya kuesioner yang digunakan untuk pengambilan data, dengan cara menguji validitas terhadap kuisioner yang telah di isi saat pengumpulan data, sebelum data di olah dan di uji secara statistik.

3.7.1.1 Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu uji untuk mengetahui instrumen yang benar dan mengukur hal yang ingin di ukur, uji validitas alat pengumpulan data menggunakan pearsonproduck moment (r), dasar pengambilan keputusan adalah valid jika r hitung > r tabel dan jika tidak valid r hitung <>

3.7.1.2 Uji Reliabilitas
Uji rehabilitas di gunakan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan dapat dipercaya, dalam penelitian ini item pertanyaan pada kuisioner yang sudah valid di uji dengan rumus Alpa Cronbach. dasar pengambilan keputusan adalah reliabel jika r alpha > r tabel dari hasil analisa didapatkan r alpha pendidikan seks sejak dini (0,9708), r alpha perilaku seksual (0,9962) sedangkan r tabelnya (0,468), dilihat dari hasil analisa, maka semua pertanyaan tersebut reliabel karena tidak ada angka yang jumlahnya di bawah r tabel (Sutanto, 2001)

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan di bahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian yaitu gambaran umum tempat penelitian, hasil analisa data dan pembahasan, adalah sebagai berikut.

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian
4.1.1 Situasi dan Kondisi Sekolah
SMA Tunas Harapan Bandar Lampung berdiri pada tahun 1991 dan merupakan satu-satunya SMA Tunas Harapan yang berada di Bandar Lampung. Secara fisik SMA Tunas Harapan Bandar Lampung adalah baik dari aspek ruang belajar dan sarana penunjang kegiatan termasuk kategori yang memadai. Sejak pertama kali berdiri sampai sekarang, SMA Tunas Harapan Bandar Lampung mengalami 3 kali pergantian kepala sekolah.
SMA Tunas Harapan Bandar Lampung mendapatkan status dari pemerintah dengan SK Kanwil Depdikbud No.0363/0/91 tepatnya pada tanggal 30 Juni 1991. Saat ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan satu orang wakil kepala sekolah, serta dibantu oleh 42 tenaga pengajar dan 13 staf sebagai tenaga tata usaha.
Letak ruang guru di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung sangat strategis, karena terletak di tengah-tengah kelas yang ada. Hal ini sengaja diciptakan untuk memudahkan dalam memberikan pengawasan terhadap murud-murid yang berjumlah 578 siswa. Secara keseluruhan lokasi SMA Tunas Harapan Bandar Lampung dikelilingi pagar sehingga memperkecil para siswa untuk membolos dan mempermudah pengawasan terhadap siswa yang terlambat.
4.1.2 Situasi Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung pada umumnya baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya wali kelas pada masing-masing kelas yang ada, yang bertugas untuk membina dan membimbing kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, pada masing-masing kelas juga terdapat ketua kelas yang bertugas sebagai koordinator di dalam kelas maupun sebagai penghubung antara guru dengan murid
4.1.3 Keadaan Sekolah
4.1.3.1 Pembagian Kelas di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung
Jumlah kelas yang ada di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung sebanyak 14 kelas dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 4.1
Jumlah kelas di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung
No Kelas Frekwensi
1
2
3 Kelas X
Kelas XI
Kelas XII 5 kelas
5 kelas
4 Kelas
Jumlah 14 Kelas

(Sumber : Arsip SMA Tunas Harapan Bandar Lampung, 2004).

4.3.1.2 Pembagian Ruang dan Gedung
Fasilitas ruang dan gedung SMA Tunas Harapan Bandar Lampung, adalah sebagai berikut :
1. Keadaan fisik sekolah : permanen
2. Ruang : lokal
a. Ruang Kepala Sekolah : 1 buah
b. Ruang Guru : 1 buah
c. Tata Usaha : 1 buah
d. Ruang Laboratorium : 1 buah
e. Ruang Teori : 14 buah
f. Ruang Aula : 1 buah
g. Ruang Perpustakaan : 1 buah
h. Ruang OSIS : 1 buah
i. Ruang Pramuka : 1 buah
j. Gudang : 1 buah
3. Mushola : 1 buah
4.3.2 Struktur Organisasi
Struktur organisasi SMA Tunas Harapan Bandar Lampung dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.
Bagan Struktur Organisasi
SMA Tunas Harapan Bandar Lampung

4.2 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung, yang menjadi responden pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMU Tunas Harapan Bandar Lampung.
4.2.1 Persiapan
Persiapan yang dilakukan oleh peneliti antara lain mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini yaitu : pengajuan surat permohonan izin penelitian kepada Program Studi Keperawatan, setelah mendapat surat izin, surat tersebut disampaikan kepada Kepala Sekolah SMA Tunas Harapan Bandar Lampung, selanjutnya kepala sekolah melimpahkan kepada petugas yang bertanggung jawab untuk mengatur pelaksanaan penelitian. Setelah itu mempersiapkan kuesioner yang sudah di foto copy sesuai dengan jumlah responden dan semua peralatan yang dibutuhkan pada saat penelitian berlangsung.

4.2.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini di laksanakan selama 1 minggu yaitu pada tanggal 18 Juni 2007 terhadap 124 remaja di SMA Tunas Harapan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode kuesioner. Kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner pendidikan seks dan perilaku seks.

4.3 Hasil Penelitian
4.3.1 Analisa Univariat
4.3.1.1 Usia
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung
Usia (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

15
16
17
18

13
42
58
11

10,5
33,9
46,8
8,9
Jumlah 124 100

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui usia remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung usia 15 tahun berjumlah 13 orang (10,5%), usia 16 tahun berjumlah 42 orang (33,9), usia 17 tahun berjumlah 58 orang (46,8%), dan usia 18 tahun berjumlah 11 orang (8,9%).

4.3.1.2 Jenis Kelamin
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung.

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki

Perempuan

55

69

44,4

55,6
Jumlah 124 100

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui dari Jenis Kelamin pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 55 orang (44,4%) dan jenis kelamin perempuan berjumlah 69 orang (55,6%).

4.3.1.3 Pendidikan seks sejak dini
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden pendidikan seks sejak dini di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung
Pendidikan seks Frekuensi Persentase (%)

Diberikan

Tidak Diberikan

75

49
60,5

39,5
Jumlah 124 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung yang diberikan pendidikan seks sejak dini berjumlah 75 Orang (60,5%) dan yang tidak diberikan pendidikan seks sejak dini berjumlah 49 orang (39,5%) dari 124 siswa SMA Tunas Harapan Bandar Lampung.

4.3.1.4 Perilaku Seksual
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden perilaku seks sejak dini di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung
Perilaku seks Frekuensi Persentase (%)

Menyimpang

Tidak Menyimpang

46

78
37,1

62,9
Jumlah 124 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung yang perilakunya menyimpang berjumlah 46 Orang (37,1%) dan yang perilakunya tidak menyimpang berjumlah 78 orang (62,9%) dari 124 siswa SMA Tunas Harapan Bandar Lampung.

4.3.2 Analisa Bivariat
Untuk melihat hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007 maka digunakan analisis bivariat seperti dibawah ini :
Tabel 4.6 Analisis hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung Tahun 2007

Pendidikan Perilaku
Total
OR
p-Value
Menyimpang Tidak Menyimpang
N % N % N %

0,322
0,151 – 0,687

0,005

Diberikan

Tidak Diberikan

20

26
26,7

51,3
55

23
73,3

46,9
75

49

100

100
Jumlah 46 78 124

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat di ketahui bahwa remaja yang diberikan pendidikan seks berjumlah 75 orang, dengan 20 orang mempunyai perilaku yang menyimpang (26,7%) dan 55 orang mempunyai perilaku yang tidak menyimpang (73,3%). Rermaja yang tidak diberikan pendidikan seks berjumlah 49 orang, dengan 26 orang mempunyai perilaku yang menyimpang (51,3%) dan 23 orang mempunyai perilaku yang tidak menyimpang (46,9%). Hasil uji statistik didapatkan p-Value = 0,005 (p-Value <>

4.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka dapat di ketahui bahwa remaja yang diberikan pendidikan seks berjumlah 75 orang, dengan 20 orang mempunyai perilaku yang menyimpang (26,7%) dan 55 orang mempunyai perilaku yang tidak menyimpang (73,3%). Rermaja yang tidak diberikan pendidikan seks berjumlah 49 orang, dengan 26 orang mempunyai perilaku yang menyimpang (51,3%) dan 23 orang mempunyai perilaku yang tidak menyimpang (46,9%). Hasil uji statistik didapatkan p-Value = 0,005 (p-Value <>

Hasil penelitian sesuai dengan Sarwono (1989 dalam Fitria 2004) bahwa pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan selfesteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan (Pratiwi, 2004).

Hal ini sesuai dengan pendapat peneliti bahwa pendidikan seks bukanlah penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek–didik. Pendidikan seks yang kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria – wanita dalam pergaulan dan peran ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga.

Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar.

Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak ( dalam Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar (www. Pendidikan sexual pada remaja.com)

Di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung di dapatkan data periku seksual pada remaja kelas XI sebagian besar mempunyai perilaku seksual tidak menyimpang, hal itu dapat di sebabkan mereka mendapatkan pendidikan seks sejak dini, baik dari orang tua maupun melalui teman dekat dan media-media yang ada. Secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : Agama, budaya, adat istiadat sosial dan ekonomi. Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tindakan yang dilakukan seseorang berdasarkan keinginannya terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal (Sarwono, 2006).

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1 Diketahui bahwa di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung remaja yang diberikan pendidikan seks berjumlah 75 orang (60,5%), sedangkan yang tidak diberikan pendidikan seks berjumlah 49 orang (39,5%).
5.1.2 Diketahui bahwa di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung remaja yang mempunyai perilaku tidak menyimpang atau baik berjumlah 78 orang (62,9%) dari 124 responden.
5.1.3 Diketahui adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung dengan ?-Value = 0,005.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisa data yang menunjukkan keeratan hubungan pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Tunas Harapan Bandar Lampung maka saran yang patut diperhatikan yaitu :

5.2.1. Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini meningkatkan pengetahuan dan wawasan orang tua dalam memberikan pendidikan seks sejak dini dan perilaku seks pada remaja.
5.2.2. Bagi Objek Penelitian
Hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi remaja, orang tua, pendidik (Guru), dalam memberikan pendidikan seks sejak dini sehingga para remaja mempunyai perilaku seks yang tidak menyimpang atau perilaku yang baik tentang seks.
5.2.3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan masukan dalam melakukan penelitian yang akan datang yang berkaitan dengan penelitian ini agar penelitian selanjutnya dapat menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar: