Minggu, 11 Januari 2009

Model Kajian Tafsir Interaktif di Pesantren Miftahul Anwar, Cigaru II, Majenang

Ahad pagi. Singgahlah di Pesantren Miftahul Anwar, Cigaru II, Majenang, Cilacap. Kita akan menemukan suasana yang berbeda dari biasanya. Sekitar seratus orang dari berbagai daerah sekitar kecamatan Majenang, duduk melingkar di masjid pesantren, perempuan dan laki-laki. Sesekali akan tampak dari mereka menunjukkan jari tangannya, tinggi-tinggi. Mereka adalah peserta aktif dalam sebuah kajian tafsir, yang diselenggarakan Forum Kajian Tafsir Alquran dan Sosial. Tidak saja meminta penjelasan, tetapi juga bertanya, membantah atau bahkan menolak apa yang disampaikan pemateri. “Ketika membahas masalah poligami, peserta perempuan protes, dan mereka mengancam akan mogok mengikuti kegiatan, jika poligami dibolehkan,” jelas Giyah Ismail, MZ, S.Ag, salah seorang pengelola kegiatan ini.

Kajian ini memang menjadi model pendidikan pesantren alternatif, yang mencoba membuka kebekuan dan ketundukan buta terhadap pandangan-pandangan kiai. Bagaimana tidak, sedikit kita akan menemukan model kajian kitab tafsir yang melibatkan masyarakat umum dengan proses dialogis dan terbuka. Selain itu, kajian ini juga merupakan model perbandingan berbagai kitab tafsir yang ada, karena setiap persoalan yang dibahas akan ditinjau dari berbagai sudut pandang kitab-kitab tafsir yang cukup masyhur di kalangan pesantren. Seperti kitab al Showi, tafsir al Munir, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Jalalain dan tafsir Qurthubi. Para pengkajinya juga mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya, KH. Qosim Nur Aly, pengasuh Pesantren El Baz, Cimanggu, Cilacap, KH. Muniruddin Masduqy, Lc, pengasuh Pesantren Tanwirul Huda, Majenang, Cilacap, alumnus dari Kairo, dan beberapa pengkaji lain dari pesantren Miftahul Anwar Cigaru II, Majenang, Cilacap sendiri, seperti K, Mashud, MA.g.

Menurut Ismail, kajian ini sudah berlangsung selama dua tahun. Model kajiannya memang tampak sangat lamban, karena dimulai dari Surah al Baqoroh. Model kajiannya, mengkaitkan satu ayat yang sedang dikaji dengan ayat lain yang berhubungan dalam surat yang lain, sehingga prosesnya menjadi tampak lamban. “Tetapi ini yang kami lakukan. Model ini sekaligus sebagai kritik terhadap tokoh agama, yang selama ini memberikan tafsir ayat Alquran sering terlepas dari ayat lain. Tafsirnya menjadi sepotong-sepotong dan bahkan menjauhi dari makna yang sebenarnya,” jelas Islamil lagi.

Keberhasilan kajian ini, dalam pandangan Ismail, tidak terlepas dari pengaruh KH. Muslih Ridwan, pengasuh Pesantren Miftahul Anwar, yang juga mursyid Tarekat Satariyah, suatu tarekat yang hampir mulai memudar pengaruhnya di Indonesia, dibanding tarekat yang lebih masyhur, seperti tarekat al Naqsbandiyah al Qodiriyah. “Kita tarekat Satariyah. Saya merintis pesantren ini tahun 1952, bersama dengan kakak saya, Munir Ridwan. Tetapi dia jarang di rumah, karena ikut Hizbullah dan ditahan selama empat setengah tahun,” kata Muslih Ridwan dengan suara perlahan karena kesepuhannya, menceritakan kakaknya yang kini sudah mendahuluinya. “Saya sudah kurang sehat, sehingga jarang keluar rumah. Pertemuan tarekat kadang diadakan di pesantren ini,” lanjutnya.

Perkembangan kajian tafsir ini agaknya akan semakin menarik di masa depan. Ismail sendiri terus merancang agenda kajian tafsir sehingga lebih kontekstual. Misalnya, kajiannya akan dikembangkan tidak saja sekedar komparasi pendapat para mufasir klasik terhadap suatu ayat, tetapi akan dikaji secara serius, dengan pertanyaan, mengapa mufasir berpendapat demikian tentang suatu ayat. Pertanyaan ini, menurut Ismail, akan membawa kajian pada penelusuran pengaruh konteks sosial-budaya-politik yang berkembang, pada saat mufasir menuliskan kitabnya. “Dengan cara ini, proses kajian bisa mengantarkan pada rumusan-rumusan baru tafsir kekinian, karena akan mempertimbangkan konteks yang berkembang saat ini,” katanya bersemangat.

Dari sinilah, kajian tafsir yang dilakukan selama ini tidak saja menyerap makna dari untaian karya mufasir klasik, tetapi memungkinkan untuk menemukan rumusan baru yang lebih kontekstual untuk situasi ke-Indonesia-an. “Di sini kajian tafsir akan menjadi proses pembaharuan nilai-nilai yang berlaku. Kajian tafsir akan mempengaruhi perubahan sosial,” kata alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, dengan mantap.

sumber: http://mukhotibmd-net.blog.com

Tidak ada komentar: