Selasa, 17 Februari 2009

PINDAH AGAMA DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Berita tentang 30 orang muslim warga Desa Karang Tengah, Kec. Kadungora Garut yang telah berpindah keyakinan kepada agama lain beberapa waktu lalu cukup mengguncang kita, semua warga Jawa Barat (Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2009 ). Bukan berita pindah agamanya yang mengejutkan, tetapi jumlah dan proses pindah agamanya lah yang sangat mengejutkan kita.
Jumlah 30 orang yang berpindah agama secara sekaligus tentu bukan merupakan suatu jumlah yang sedikit. Kemudian, proses pindah agama yang diberitakan melalui iming-iming mendapat makan gratis dan diberi uang Rp 50.000 serta diajak ke sebuah acara undangan yang ternyata di acara tersebut berlangsung upaya pemindahan agama dan disahkan dengan surat perjanjian, tentu semua itu menimbulkan beragam pertanyaan di benak kita. Benarkah di jaman kekinian masih ada model-model penyebaran agama di masyarakat dengan modus seperti itu? Karena yang kita tahu, praktek-praktek semacam itu asumsinya telah tiada seiring keluarnya SKB Menteri No. 01/BER/MDN-MAG/1969.
Dan tentu saja pertanyaan yang tidak kurang penting adalah peristiwa luarbiasa apakah yang telah terjadi pada mereka sehingga mereka harus “menggadaikan” keyakinan mereka? Sedangkan kita tahu betul bahwa terutama secara psikologis proses alih keyakinan itu bukanlah proses yang mudah, karena harus keluar dari segala yang diyakininya selama ini dan kemudian mengisinya dengan kepercayaan baru yang sama sekali asing baginya(Prof. Drs. Jalaluddin: Psikologi Agama: 2007: 303)

Alasan Kesejahteraan?
Ada berbagai kemungkinan untuk menjawab mengapa seseorang atau sekelompok orang berpindah agama. Dari mulai faktor pribadi, ekonomi, sosial, rumah tangga, atau moral. Jika mencermati penyebab konversi agama pada kasus di Karang Tengah, Kadungora tersebut, jelas yang paling signifikan muncul adalah faktor ekonomi. Indikatornya sangat jelas; masyarakat diundang untuk menghadiri suatu acara yang masyarakat sendiri tidak mengetahui agenda acaranya dengan faktor penarik berupa iming-iming uang sebesar Rp. 50.000,- ditambah makan siang. Dan setelah mereka berpindah agama, dijanjikan lagi uang tambahan sebesar Rp. 1.000.000,- jika berhasil mengajak warga lain untuk mengikuti acara “wisata agama”, yang pada kali ini bertempat di Pangandaran. Dan dari mereka banyak yang berhasil dengan mengajak warga dari daerah lain di garut yang di antaranya adalah Cijayana, Cisewu, Bungbulang, Rancabuaya, Limbangan, dan Pameungpeuk (Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2009 ).
Modus penyebaran agama lewat bantuan ekonomi dan sosial telah menjadi sebuah hal klasik dalam gerakan keagamaan.
Jika karena ekonomi…………..
Peran Ormas Keagamaan

Solusi
Migrasi agama dari satu keyakinan kepada keyakinan yang lain sejatinya merupakan hak paling asasi semua manusia. Bahkan kitab suci agama islam dalam salahsatu ayatnya menyebutkan “tidak ada paksaan dalam agama”. Aturan perundang-undangan negara kita pun di UUD 45 pasal 29 menjamin sepenuhnya hak warga dalam memeluk dan menjalan keyakinannya yang paling asasi tersebut. Adapun yang biasanya menjadi persoalan adalah upaya-upaya agama-agama tersebut dalam menyebarkan misi dan keyakinannya di masyarakat, sehingga muncullah istilah SARA(Suku, Agama, Ras, antar golongan) yang mengindikasikan sensitivitas masyarakat jika berkenaan dengan salahsatu isu yang terdapat dalam istilah tadi.


Penulis, Kabid Kajian dan Riset MASIKA ICMI Kota Bandung

Tidak ada komentar: